Jurnaldesa.id | Jakarta – Mantan Kabareskrim Polri dan Dubes RI Untuk Mesir, Komjen (Purn) Dr. Nurfaizi Suwandi, MM menyebut Indonesia membutuhkan semacam benteng guna menangkal paparan ideologi asing selain Pancasila.
Dirinya mengenalkan konsep The Greatwall Interception of Indonesia. Konsep keamanan berbasis teknologi informasi, menurutnya seperti tembok yang dapat membentengi rakyat Indonesia dari pengaruh luar. “Jadi konsep The Greatwall Interception of Indonesia tembok yang membentengi Indonesia dari pengaruh luar maupun ke dalam kalau diterapkan bisa mengamankan internal”, kata Nurfaizi dalam diskusi Strategi Institute bertajuk Pancasila dalam Tindakan: Membangun Ekosistem Keamanan Nasional Mewujudkan Indonesia Tangguh secara hybrid, Rabu (30/06/21).
Pemerintah perlu membuat suatu undang-undang yang dapat membentengi serta mengakomodir beragam tantangan dalam program sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Pasalnya, UU yang ada kini belum bisa memenuhi kebutuhan itu, Ungkapnya. “Kalau kita lihat dari kacamata itu, maka kita dapat menemukan sesuatu yang harus kita laksanakan sekarang. Yaitu kita harus mempunyai UU yang membentengi, mengakomodasi tantangan-tantangan kita ke depan, kendala-kendala yang kita hadapi di depan ini”, ucapnya.
Dalam diskusi ini juga hadir Prof Muradi, M.A., Ph.D (Akademisi Unpad), Romo Antonius Benny Susetyo, M.Phil., M.Ikom (Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute), dan Boni Hargens, Ph.D yang hadir secara daring.
Prof. Murada menyatakan bahwa sistem integritas keamanan nasional belum sempurna, ada yang perlu di clear kan seperti pencurian data base dengan payung besar undang-undang keamanan nasional
“harus clear diantara aktor keamanan, tata kelola harus diperjelas begitu juga sarana dan prasarana”, ujar Muradi.
Dirinya juga menambahkan bahwa jangan memunculkan isu dari dalam karena akan membuat tidak akan fokusnya mengelola ancaman dari luar. Jika isu masih muncul pemberdayaan dan memfokuskan keamanan menjadi tidak efektif sebab sejatinya komponen keamanan kita sudah clear tinggal pelaksanaannya.
Melihat masalah penting ekosistem keamanan, Prof Muradi juga menyampaikan perlunya 3 pihak yang menjadi aktor.
“intelejen, polisi serta militer menjadi 3 pihak yang menjadi aktor penjaga keamanan yang harus diaktifkan dalam membuat ekosistem yang terintegrasi baik demi menjaga keamanan nasional”, tegas aktivis Bandung ini.
Sedangkan Romo Benny mengomentari masalah di era digitalisasi masih muncul persoalan bangsa mengenai ideologi.
“Kita harus membangun budaya kuat untuk menghadapi teknologi informasi, sehingga bisa menangkal hoax untuk viral. Energi habis untuk merespons isu dan sudah seharusnya kita harus bergerak maju dan meninggalkan konflik”, ujar Staf Khusus Dewan Pengarahan BPIP ini di Cafe Papabro Rabu (30/6/21).
Sekertaris dewan nasional Setara Institute ini juga mengatakan bahwa jika Pancasila final maka sudah waktunya diaktualisasikan tindakan dan kebijakan. Sebab selama ini Pancasila hanya merupakan lips service, verbatim tanpa pembatinan hingga berhenti dalam jargon.
Sedangkan Boni Hargans dalam diskusi kebangsaan Strategis Institute ini menyoroti mengenai kepentingan beragam yang memunculkan narasi beragam mengenai ketidakadilan struktural yang lama terpelihara di negeri ini.
Hal ini menurut Boni pentingnya penguatan keamanan yang juga berarti adanya rekonsiliasi dan penghentian ketidakadilan sehingga penguatan di dalam dapat berujung pada penguatan menghadapi tantangan dari luar.
“Perkuat ekonomi dengan kemakmuran dan kegotong-royongan, hal itu diharapkan dapat mengikis ekstrimitas dan radikalisme yang berujung perpecahan”, tutup pengamat politik Boni Hargens.
Penulis: LIN
Editor: DJ