Jurnaldesa.id | Jakarta – Fenomena Pilkada Serentak 2020 cukup menarik perhatian masyarakat. Terutama penyelenggaraannya dilaksanakan disaat Pandemi Covid-19. Beberapa hal menjadi topik hangat diantaranya adalah kemungkinan munculnya cluster baru Covid-19. Juga ada perhatian masyarakat dimana kerumunan Pilkada serentak 2020 diperbolehkan, sementara kerumunan lainnya tidak diperbolehkan!
Hal ini cukup menarik perhatian Ketua Umum Yayasan Strategi Arus Utama, Achmad Solehudin, ia memberikan analisis cukup menarik terkait fenomena Pilkada Serentak 2020. Achmad Solehudin memberikan pandangannya, Pilkada Serentak 2020 menjadi krusial karena harus terselenggara meskipun masa Pandemi Covid-19 yang merupakan program strategis Pemerintah Indonesia.
“Pilkada Serentak 2020 merupakan program yang cukup strategis tetapi masyarakat tampaknya kurang memperhatikan perkembangannya. Sosialisasi Pilkada Serentak 2020 masih kurang di masyarakat sehingga sedikit sekali masyarakat yang memberikan perhatiaannya kepada Pilkada. Sedangkan Pilkada perlu untuk diperhatikan untuk mengetahui calon-calon Kepala Daerah yang akan terpilih nantinya,” ucap Achmad Solehudin pada tayangan channel youtube Explore Media.
Achmad Solehudin mengutarakan, Pilkada 2020 kali ini cukup pelik karena dalam situasi dan kondisi Pandemi Covid-19. Kebijakan Pemerintah Indonesia banyak kontradiksi, imbauan untuk menjaga kesehatan di kondisi pandemi disaat yang bersamaan Pilkada Serentak 2020 diberlakukan. Sementara sanksi yang diberikan untuk pelanggaran Protokol Kesehatan kurang memadai.
“Kontradiksi dalam pemberian sanksi menunjukkan kurang tegasnya Pemerintah Indonesia terkait Protokol Kesehatan. Yang terjadi adalah ketimpangan dalam pemberlakuan kebijakan. Di satu sisi masyarakat dilarang berkerumun, di sisi lain masyarakat diimbau untuk meramaikan Pilkada Serentak 2020. Tumpang tindih kebijakan ini membuat kondisi simpang siur terjadi dan memunculkan interpretasi liar di kalangan masyarakat yang mengakibatkan kegaduhan di lini masa,” ujar Achmad Solehudin.
Ia mengatakan, yang menjadi perhatian khusus bagi kita adalah unsur Pilkada salah satunya perangkat demokrasi yaitu penyelenggara Pilkada mampu melahirkan kepemimpinan yang amanah dan berintegritas. Lantas apa yang terjadi? Justru ada dibeberapa daerah terdapat kotak kosong, beberapa calon di beberapa daerah menjadi calon Kepala Daerah tunggal. Ini menunjukkan partisipasi publik tak terakomodir dengan baik oleh Partai Politik, sementara segala supra dan infrastruktur untuk menyelenggarakan Pilkada sangat memadai.
“Kotak kosong menunjukkan bahwa masyarakat sudah jenuh dengan Partai Politik dan minimnya sosialisasi Pilkada, juga membuat fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap Partai Politik. Partai Politik seharusnya melahirkan kepemimpinan di level daerah dan nasional, fenomena kotak kosong ini menunjukkan ketidakbecusan Partai Politik untuk mengisi ruang-ruang kosong di masyarakat yang harus diisi dengan pendidikan politik yang memadai,” kata Achmad Solehudin.
Achmad Solehudin mengungkapkan, Fenomena kotak kosong sangat tidak masuk nalar demokrasi Indonesia sebab dukungan untuk melahirkan kepemimpinan terbaik sangat memadai. Hal ini memunculkan kebutuhan adanya Kepemimpinan dari unsur Independen untuk muncul ke permukaan yang seharusnya Pemerintah Indonesia mempermudah persyaratan untuk pencalonan Independen. Sehingga calon Independen menjadi jawaban atau solusi dari fenomena kotak kosong, dan juga menjadi proses pendewasaan politik baik di level daerah maupun nasional.
“Calon Independen harus diangkat ke permukaan agar mampu menjawab fenomena kotak kosong. Dan untuk itu persyaratan pencalonan Independen harus dipermudah agar partisipasi publik lebih marak, sehingga masyarakat juga bisa menjadi peserta demokrasi tidak hanya menjadi penonton. Hal ini sangat memungkinkan untuk terjadi dan semakin mewarnai demokrasi Indonesia yang tadinya Partai Politik hanya berkompetisi dengan sesama Partai Politik, namun di masa yang akan datang juga berkompetisi dengan calon Independen. Sebagai proses pendewasaan politik negeri, perlu untuk terwujud agar mematangkan demokrasi Indonesia yang menghadirkan Kepemimpinan yang komprehensif.” pungkas Djali Achmad.
Penulis: Parlin Siagian