Jurnaldesa.id | Jakarta – Hampir di setiap kuliner khas nusantara, kecap manis selalu dipakai sebagai bumbu andalan dalam setiap masakan. Rasa manis dan gurih dari kecap manis kerap menjadi pelengkap makan seperti nasi goreng, sate, batagor, bakso, soto, hingga tempe dan tahu bacem.
Bahkan hampir di setiap rumah, restoran, hingga kedai kaki lima selalu menyediakan kecap manis sebagai salah satu bahan pelengkap di atas meja makan. Menuangkan kecap manis seakan menjadi kewajiban bagi sebagian masyarakat Indonesia sebelum menyantap sebuah makanan.
Dalam Buletin Konsumsi Pangan Vol. 10 No 1 2019, yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian Tahun 2019, konsumsi kecap dalam rumah tangga di Indonesia pada 2021 diprediksi akan meningkat sebesar 0,95 kg/kapita.
Namun siapa sangka, sebelum populer seperti saat ini, ada sejarah panjang kehadiran kecap manis di nusantara. Seperti dituliskan laman Indonesia.go.id, kecap bukanlah asli Indonesia dan ternyata sudah dikenal sejak 300 tahun sebelum Masehi di era Romawi dengan nama liquamen.
Kecap asal Romawi ini bukan terbuat dari kedelai, melainkan dari petis teri, cuka, minyak, dan merica. Memiliki rasa yang mirip dengan kecap asal Tiongkok, bangsa Romawi menggunakan liquamen sebagai penambah rasa pada makanan.
Seiring berjalannya waktu, pada 1690 bangsa Tiongkok menggunakan saus serupa yang diberi nama ke’tsiap. Dengan teknologi yang lebih maju, pembuatan ke’tsiap mulai menggunakan kacang kedelai hitam sebagai bahan utamanya.
Seiring mulai berekspansi pedagang-pedagang Tiongkok hingga ke Asia Tenggara, mereka juga membawa ke’tsiap dan mengenalkannya ke negara-negara yang disinggahi. Misalnya Singapura, Thailand, Filipina, hingga Indonesia.
Sejarah Kecap Manis di Indonesia
Masuknya ke’tsiap di Indonesia berawal dari keinginan para pedagang Tiongkok untuk bertukar hasil bumi. Sayangnya, ke’tsiap atau kecap asin yang dibawa oleh pedagang Tiongkok kurang cocok dengan budaya Indonesia, terutama kultur budaya masyarakat Jawa.
Dari situ kemudian para pedagang berinovasi dengan menambahkan gula kelapa ke dalam kecap asin tersebut. Sehingga rasa yang dihasilkan berubah menjadi manis sesuai dengan lidah masyarakat Jawa.
Seiring berjalannya waktu, rasa kecap pun juga terus berkembang dan disesuaikan dengan lidah nusantara yang gemar makanan manis. Bahkan, kecap manis yang awalnya masih sangat encer, mulai dibuat lebih kental dengan tambahan bumbu-bumbu lainnya.
Selain rasanya yang berubah, penyebutan ke’tsiap juga mengalami perubahan. Karena pelafalannya yang sulit untuk masyarakat Indonesia, kata ke’tsiap berubah menjadi kecap seperti yang kita gunakan hingga saat ini.
Pabrik Kecap Pertama di Indonesia
Sejarah kecap di Indonesia berlanjut dengan dibangunnya pabrik kecap pertama pada 1882. Tepatnya di Pasar Lama, Tangerang, yang didirikan oleh Teng Hang Soey. Pabrik kecap pertama di Indonesia itu bernama Teng Giok Seng dan masih beroperasi hingga sekarang dengan nama Kecap Benteng Cap Istana.
Sejak saat itu mulai banyak bermunculan merek-merek kecap manis di Indonesia. Seperti Kecap Cap Orang Jual Sate dari Probolinggo, Jawa Timur sejak 1889. Kemudian Kecap Benteng Cap SH yang dibuat oleh Lo Tjit Siong pada 1920 di Tangerang, yang juga masih eksis hingga sekarang.
Kehadiran pabrik Kecap Benteng Cap SH makin populer berkat adanya masyarakat Tionghoa di Tangerang, atau yang dikenal dengan Cina Benteng. Bahkan, sekarang merek kecap tersebut menjadi oleh-oleh wisatawan yang berkunjung ke Kota Tangerang, terutama daerah Pasar Lama.
Perjalanan sejarah kecap manis, pusaka kuliner nusantara tentu tidak boleh dianggap sebelah mata. Bisa saja dikatakan jika kecap menjadi hasil persilangan antara budaya Jawa dengan Tiongkok yang masih berjalan “manis” hingga saat ini.
Lantas, bagaimana dengan Anda. Apakah Anda termasuk tim penikmat makanan dengan kecap atau tanpa kecap?
Pewarta : LIN
Editor : DJ